Desember 8, 2024

Otonomi daerah memperluas celah korupsi anggaran

Bagikan..

Rp20 Miliar Dikorupsi, Rp15 Triliun Melayang

SURABAYA (www.detikriau.wordpress.com) – Dampak korupsi yang makin menggurita di Surabaya ternyata jauh lebih besar dari yang dibayangkan. Meski kerugian negara akibat para ‘penggarong’ duit rakyat hanya sekitar Rp20,873 miliar, namun citra korup bisa memicu investor hengkang dari Kota Buaya ini. Menurut hitungan kasar statistika, setidaknya Rp15 triliun investasi kabur per tahun.

“Nilai Rp20 miliar itu memang hanya kecil sekali, tiap hari saja di Surabaya ada Rp7 triliun uang berputar. Tetapi ada citra buruk yang melekat sehingga investor enggan masuk,” ujar pakar statistika bisnis dari ITS Surabaya, Kresnayana Yahya, Sabtu 8 Oktober 2011.

Secara materi, Kresnayana menyebut nilai yang dikorupsi memang tidak besar. Tetapi ada kerugian lain yang lebih berdampak bagi masyarakat dan perkembangan ekonomi akibat korupsi. Terutama jika uang yang dikorupsi berasal dari sektor riil, pembangunan infrastruktur serta pelayanan publik mandek.

Sebagai contoh, kata dia, akibat korupsi PD Pasar sudah jelas akan ada transaksi yang hilang akibat pembangunan pasar yang tersendat. Belum lagi jika yang berhubungan kesehatan masyarakat. “Kalau obat untuk masyarakat miskin habis karena dananya dikorupsi, jelas masyarakat yang akan menanggung. Belum lagi soal infrastrukur, akan ada banyak lagi imbasnya,” sesalnya.

Kondisi itu, sambung dia, diperparah dengan perizinan investasi yang cukup rumit. Padahal investor membutuhkan jaminan dan kemudahan dalam menanamkan modalnya. Apalagi, korupsi sudah menjalar dari pusat hingga daerah. Daerah juga akan menanggung citra buruk korupsi dari pusat sehingga investor tak jadi menanamkan uangnya.

“Seharusnya kita jangan heran dan bertanya mengapa RIM (produsen Blackberry, red) lebih memilih berinvestasi di Malaysia padahal di Indonesia penggunanya jauh lebih besar. Karena citra buruk korupsi inilah yang membuat investor tidak jadi masuk,” sindirnya.

Selama ini, investor masih mempersepsikan Indonesia masih belum memiliki investasi yang menarik akibat korupsi. Kresnayana mengatakan, pemerintah terlalu lambat dalam pemberantasan korupsi dan memperbaiki citra. Semakin lama ini dibiarkan, akan semakin banyak investasi yang hengkang.

“Soal pipa gas di pelabuhan saja, sudah berapa lama itu tidak kunjung selesai. Padahal tiap hari ada kerugian sekitar Rp 600 miliar karena bongkar muat yang tertunda,” kritiknya.

Belum lagi, ketersediaan infrastruktur yang masih buruk. Sehingga menambah biaya distribusi barang dan perawatan kendaraan. Tentunya buruknya infrastruktur bukan tidak mungkin dikarenakan adanya korupsi dalam pembangunannya. “Investor akan bertanya dan berasumsi di Indonesia ada banyak Nazaruddin (tersangka suap wisma atlet) sehingga mereka tidak akan masuk ke Indonesia. Jadi meskipun nilainya kecil, tetapi dampak pencitraan korup itulah yang justru lebih besar,” katanya.

Terpisah, pengamat hukum dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, I Wayan Titip Sulaksana mengatakan dengan otonomi daerah (otoda) peluang seseorang atau sekelompok orang melakukan tindak korupsi makin besar. Hal ini dikarenakan, sangat mudahnya setiap daerah mengelola keuangannya sendiri tanpa campur tangan pemerintah pusat.

“Ini efek negatif dari otonomi daerah. Apalagi, supremasi hukum dilemahkan sendiri oleh pemilik kewenangan dalam menindak perkara korupsi. Karena mereka tidak serius menanganinya, entah itu jaksa ataupun polisinya sama saja (tidak serius, red),” katanya.

Selain itu, staf pengajar di Fakultas Hukum (FH) Unair ini pesimis jika kasus korupsi yang belakangan ini menggejala di Indonesia atau di Surabaya khususnya bakal terungkap. Itu dikarenakan tidak adanya pihak yang berani dan bersedia mengungkap kebobrokan moral secara terbuka dan transparan kepada publik.

“Itu bisa terungkap hanya dari dalam atau internal institusi yang dicurigai terjadi tindak korupsi. Selama tidak ada penabuh ‘kentongan’ yang berani membongkar, saya yakin korupsi akan terus menggerogoti uang rakyat,” tandas Dosen Hukum Pidana FH Unair ini.

Alasan tersebut tampaknya masuk akal. Sebab, kata Wayan, tindak korupsi selama ini telah menggurita dalam sistem. Berawal dari sistem yang tercarut-marut itulah membawa dampak saling menguntungkan antara masing-masing pihak.

“Ada simbiosis mutuialisme yang saling menguntungkan. Karena korupsi ini adalah dosa nikmat yang bisa memberikan vitamin antara kedua belah pihak. Dengan begitu, aparat yang bersangkutan dengan berbagai alasan dan pertimbangan mencoba untuk memperlambat dan mengulur kepastian hukum yang bisa dibelinya,” ingat Wayan di ponselnya.

Solusinya ? Wayan dengan tegas menyatakan, hal tersebut tidak akan terwujud jika tanpa ada gerakan rakyat yang berani untuk menyuarakan secara terbuka terhadap kebobrokan moral tersebut. Hanya masalahnya, ujar Wayan, siapa yang mampu mendahului sebagai motor kekuatan rakyat tersebut.

“Harus ada gerakan pendobrak dengan civil power. Selebihnya, pasang propaganda dengan membeber spanduk besar sebagai pengingat masyarakat akan bahaya korupsi yang tak ubahnya seperti laten komunis,” tukasnya.

Terkait hukuman, Wayan mengatakan, “Hukumannya paling ringan adalah seumur hidup tanpa remisi atau hukuman mati. Itu semua bisa dilakukan selama ada bukti kuat dan fakta pendukung dengan dampak yang diperbuat,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Bidang Operasional LBH Surabaya, Faiq Assiddiqi menilai, korupsi di kota Surabaya memiliki potensi besar sama dengan korupsi yang terjadi di kota Jakarta. Pasalnya, kota Surabaya juga merupakan kota terbesar di Indonesia, yang memiliki anggran dana APBD yang tidak sedikit.

Ia juga melihat, saat ini banyak celah yang bisa dimanfaatkan para koruptor untuk melakukan korupsi. “Sekarang kan masa transisi kota Surabaya, jadi celah untuk melakukan korupsi itu besar,” jelasnya.

Lebih lanjut, Faiq mengharapkan, agar Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya segera melakukan pembenahan terhadap jajaran dan instansi dibawahnya. “Andaikata tidak segara dilakukan pembenahan, maka korupsi di kota Surabaya bisa berpotensi sama dengan korupsi yang terjadi di kota Jakarta,” jelasnya.

Ketua komisi B DPRD Surabaya Moch Machmud mengatakan, pejabat Pemkot harus ekstra hati-hati dan teliti soal penggunaan anggaran negara. Sebab, dengan APBD Surabaya yang mencapai Rp 5,1 triliun sudah jelas akan banyak yang melototi pengggunaannya. Mengingat, anggaran itu sangat aduhai besarnya. “Kalau tidak ingin kejebur dalam masalah hukum terkait dengan korupsi, ya, sebaiknya hati-hati sendiri dalam pemanfaatan APBD Surabaya,” terangnya.

Menurutnya, dewan sering memlototi penggunaan APBD Surabaya. Sebab, ini tugas dari DPRD itu sendiri. Karena DPRD memiliki fungsi pengawasan, selain memiliki fungsi budgeting atau anggaran dan legislasi.

Namun, sejalan dengan pengawasan tersebut dewan sering menemukan penggunaan anggaran pembangunan yang berlebihan atau penggunaannya tidak pas maupun tidak tepat sasaran. Sementara, penggunaan anggaran seperti itu rawan penyimpangannya daripada benarnya. “Ya, harus hati-hati sendiri kalau mau selamat,” ujarnya. (Yopi, Purnomo, Syarif & Arifan)
(surabayapos/drc)