www.detikriau.wordpress.com (JAKARTA ) – Pemerintah memutuskan menghapus sistem pemilihan langsung gubernur. Mekanisme pemilihan kepala daerah level provinsi itu dikembalikan lagi ke DPRD provinsi masing-masing, seperti halnya pada era Orde Baru.
Sedangkan pemilihan kepala daerah tingkat kabupaten (bupati) dan kota (wali kota) nanti hanya diikuti kepala daerah (calon bupati/calon wali kota). Tidak lagi berpasangan dengan cawabup/cawawali. Namun, pemilihan bupati-wali kota tetap digelar lewat pemilihan langsung.
Perombakan mekanisme pilkada itu dimasukkan dalam Rancangan Undang-undang Pemerintah Daerah (RUU Pemda) yang akan mengatur pilkada. Mekanisme tersebut baru diterapkan bila RUU tersebut disetujui DPR.
Sikap resmi pemerintah itu disampaikan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi. ’’Penetapan (gubernur) oleh DPRD ini diambil setelah mempertimbangkan implikasi-implikasi yang ada,’’ kata Gamawan di Jakarta, kemarin (18/8).
Menurut mantan gubenur Sumbar itu, dua faktor yang membuat pemerintah memutuskan mekanisme penetapan gubernur adalah faktor politik uang dan biaya pilkada yang tinggi. Sudah menjadi hal umum bahwa penyelenggaraan pilgub bisa menghabiskan dana hingga ratusan miliar rupiah.
’’Kalau untuk biaya pemilihan gubernur saja habis Rp 100 miliar, implikasi politiknya sangat tinggi,’’ ujar Gamawan.
Dalam hal politik uang, kata Gamawan, ratusan miliar rupiah dana yang sudah dihabiskan itu bisa mengakibatkan terjadinya praktik korupsi. Jika berharap pada penegakan aturan pilkada, saat ini sulit dilakukan pencegahan atas politik uang.
’’Karena itu, kalau itu tak bisa kita cegah, yang kita pilih adalah model perwakilan itu,’’ katanya.
Terhadap kekhawatiran bahwa tidak tertutup kemungkinan terjadi politik uang di penetapan DPRD, Gamawan juga membenarkan itu. Namun, pencegahannya bisa dilakukan lebih mudah. Salah satu caranya ialah menggabungkan proses verifikasi dan penetapan dalam hari yang sama.
’’Misalkan saat itu dikoreksi tiga calon, pada hari itu juga dilakukan pemilihan,’’ kata Gamawan.
Bisa juga, lanjut dia, dibahas aturan pengawasan terkait mekanisme pemilihan di DPRD.
TAK AKUR DENGAN WAKIL
Perubahan di pilkada kabupaten-kota adalah kepastian usul pemerintah untuk mengusung calon kepala daerah saja, tanpa wakil kepala daerah. Menurut Gamawan, supaya tidak ada konflik dalam perjalanan tugas, jabatan wakil kepala daerah (Wakada) akan diajukan kepala daerah (Kada).
Hasil evaluasi Kemendagri menunjukkan, 85 persen pasangan pilkada yang menang tidak lagi melanjutkan kampanye mereka di kompetisi selanjutnya.
’’Jadi, mereka saat menjabat sudah ada orientasi untuk mencari pengaruh. Ini tidak baik,’’ ujar Gamawan.
Karena Kada dan Wakada sibuk sendiri-sendiri, hal itu menimbulkan kebingungan pada staf pemerintah di daerah. Belum lagi jika seorang sekretaris daerah juga ikut maju dalam pilkada. Banyaknya kepentingan juga menghambat perkembangan kabupaten-kota.
’’Sebanyak 294 daerah, anggaran belanjanya di atas 50 persen. Ini terjadi karena mencari-cari pengaruh itu,’’ ujarnya mengingatkan.
Perubahan itu, lanjut Gamawan, diharapkan bisa menjadi faktor untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Dia berjanji segera menyampaikan usul pemerintah itu kepada DPR.
’’Kami akan dialogkan dengan menyampaikan berbagai pemikiran,’’ tandasnya.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS Agus Purnomo menyatakan belum bisa berbicara banyak atas draf RUU Pemda. Menurut Agus, Komisi II DPR saat ini masih menunggu realisasi penyerahan draf RUU pemda yang terus tertunda.
’’Kami akan bersikap resmi begitu pemerintah menyerahkan DIM (daftar inventarisasi masalah, Red),’’ ujarnya saat dihubungi.
Namun, yang pasti, kata Agus, tata cara sistem pemilihan juga berbanding lurus dengan kewenangan. Jika kewenangan yang diberikan kepada kepala daerah besar, sistem pemilihan langsung harus menjadi pilihan.
’’Kalau kewenangan (gubernur) terbatas, saya kira alasan pemerintah berdasar,’’ ujar dia.
Persoalan biaya politik pilkada, lanjut Agus, sebenarnya bisa disiasati. Jika pilgub selama ini dinilai menghamburkan anggaran, opsi pilkada serentak bisa menjadi pertimbangan pemerintah. ’’Pilkada serentak lebih efisien,’’ tandasnya.(kaltimpos.co.id/fsl/dr.com)
Mengapa gak sekalian aja diterapkan untuk pemilihan tingkat bupati-walikota biar tidak menghabiskan biaya buat pilkada. Dana pilkada kan lumayan buat dialihkan untuk pembangunan daerah.
🙂 Salam,
Mochammad
http://mochammad4s.wordpress.com
http://piguranyapakuban.deviantart.com