November 30, 2023

Sejarah Cukai Rokok di RI, Mulai dari Zaman Kerajaan

Bagikan..

Foto Cukai Rokok, Arbindonesia.com/arb

ARBindonesia.com, JAKARTA – Pemerintah memutuskan cukai hasil tembakau (CHT) alias cukai rokok naik 12,5% per 1 Februari 2021. Kenaikan itu otomatis membuat harga rokok lebih mahal.

“Kenaikan cukai hasil tembakau ini akan menyebabkan rokok jadi lebih mahal. Atau affordability indeksnya naik jadi 12,2% jadi 13,7-14% sehingga makin tidak dapat terbeli,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 10 Desember 2020 lalu.

Kebijakan itu diambil dari sisi kesehatan untuk dapat mengendalikan konsumsi rokok dan menurunkan prevalensi merokok terutama pada anak-anak dan perempuan.
“Prevalensi merokok untuk anak anak usia 10-18 tahun akan tetap diupayakan diturunkan sesuai RPJM. Saat ini 9,1% akan diturunkan di 8,7% pada tahun 2024,” ucapnya.

Menarik untuk tahu, bagaimana RI menerapkan cukai rokok yang kemudian berpengaruh pada harga?

Lahirnya cukai rokok ini ternyata memiliki cerita tersendiri dari Kerajaan Jawa pada abad ke-17. Alkisah ada wanita cantik bernama Rara Mendut yang dilamar panglima perang sultan agung dari Kerajaan Mataram, Tumenggung Wiraguna yang kala itu berkuasa pada 1627.

Namun lamaran Wiraguna ditolak mentah-mentah. Dia pun mewajibkan Rara untuk membayar pajak tiga real sehari kepada Kerajaan Mataram. Bila tak sanggup, Rara harus bersedia jadi istri Wiraguna.

Rara menyanggupi dan memutuskan untuk berdagang rokok agar bisa membayar pajak itu. Berkat kecantikannya, rokok yang dijual Rara di warung kecilnya itu laku keras. Dari situ lah pengenaan cukai rokok dimulai.

Kemudian, peraturan cukai rokok mulai tertera secara tertulis pada masa kolonial. Seiring waktu, muncul perusahaan rokok kretek, dari kelas teri hingga kakap.

Penelitian Van der Reijden pada 1935 melaporkan, di Kudus saja pada 1932 sudah ada 165 pabrik yang dimiliki Mas Nitisemito dengan merek Bal Tiga. Maka, kretek Jawa menjadi saingan rokok putih impor.

“Van der Rijden menyatakan, pada 1931 produksi rokok putih mencapai 7.100.000.000 batang per tahun. Sedang produksi rokok kretek 6.422.500.000 batang,” tulis Rudy Badil dalam buku Kretek Djawa.

Lantas, pemerintah kolonial ambil sikap dan membedakan cukai rokok putih dan asli ini, dengan mengeluarkan Staadsblad Nomor 427 Tahun 1935, yang mengatur soal harga eceran minimum rokok putih, untuk tak menekan industri rakyat kecil.

Menurut Gugun El Guyanie, dkk dalam buku Ironi Cukai Tembakau: Karut-marut Hukum dan Pelaksanaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau di Indonesia, awalnya cukai tembakau di masa kolonial diatur melalui Staatsblad Nomor 517 Tahun 1932, kemudian Staatsblad Nomor 560 Tahun 1932, dan terakhir Staatsblad Nomor 234 Tahun 1949 tentang Ordonansi Cukai Tembakau.

“Semua peraturan itu mengatur soal pita cukai, bea ekspor, dan bea masuk impor. Termasuk di dalamnya ketentuan mengenai besaran jumlah yang diterima pemerintah dari pengutipan cukai itu,” tulis Gugun El Guyanie, dkk dalam Ironi Cukai Tembakau.

Peraturan ini merevisi ordonansi tanggal 1 September 1949 (Staatsblad Nomor 234). Gugun El Guyanie, dkk dalam Ironi Cukai Tembakau menyebutkan, peraturan ini mengatur harga jual eceran, penurunan pungutan cukai, dan penetapan golongan pengusaha tembakau yang diberi beban membayar cukai.

Kemudian, terbit Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1951 tentang perubahan peraturan cukai tembakau (Staatsblad Nomor 560). Gugun, di dalam buku yang sama menulis, peraturan ini mengatur penetapan besarnya pungutan cukai hasil tembakau, dengan cara melekatkan pita cukai warna-warni yang beragam di beberapa jenis atau penggolongan hasil tembakau yang diproduksi.

Lantas, terbit Undang-undang Nomor 16 Tahun 1956 tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau (Staatsblad Nomor 517). Aturan ini ditetapkan dengan tujuan mengurangi dampak makin banyaknya perusahaan rokok yang bangkrut, akibat tingginya cukai tembakau.

Pemerintah sengaja menggelontorkan subsidi untuk perusahaan-perusahaan rokok, berupa penurunan dan pembebasan cukai bagi pengusaha rokok selama setahun. Peraturan ini menetapkan cukai dari setiap batang rokok.

Di masa Orde Baru, cukai rokok di Indonesia adalah upaya pengendalian harga jual dari pemerintah Indonesia terhadap rokok dan produk tembakau lainnya seperti sigaret, cerutu, serta rokok daun, yang dipungut dan berlaku pada saat pembelian. Ketentuan ini berlaku dengan adanya UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Kemudian, UU itu diatur dalam peraturan pemerintah, seperti PP Nomor 24 Tahun 1996 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi di Bidang Cukai, PP nomor 25 Tahun 1996 tentang Izin Pengusaha Barang Kena Cukai, dan PP Nomor 55 Tahun 1996 tentang Penyidikan Tindak Pidana Bidang Kepabeanan dan Cukai.

Setelah Orde Baru tumbang, keluar Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Menurut buku Ironi Negeri Tembakau, cukai hasil tembakau kini dimasukkan ke dalam perhitungan dana bagi hasil, antara pemerintah pusat dan daerah penghasil tembakau. Sehingga lahir istilah dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT). (***)

Sumber detik finance