Maret 19, 2025

SARANG WALET: PENURUNAN HARGA TERPARAH DALAM SEJARAH

Bagikan..

www.detikriau.wordpress.com ( SAMPIT ) – Anjloknya harga sarang burung walet belakangan ini dinilai paling parah dalam sejarah. Sebelumnya, penurunan harga pernah terjadi namun hanya di kisaran 20 persen, namun kali ini hingga 50 persen.

”Penurunan harga saat ini paling parah sepanjang sejarah.  Sebelumnya kalau harga turun, dari Rp 12 juta menjadi Rp 10 juta. Sekarang tinggal Rp 6 juta, turunnya Rp 6 juta. Bahkan pengepulnya tidak ada yang mengumpulkan lagi,” kata pengusaha sarang walet Henry Tenggara kemarin.

Dirinya saat ini mengelola lebih dari 20 gedung walet yang tersebar di Sampit, Samuda, Pangkalan Bun, hingga Palangka Raya. Gedung tersebut ada yang miliknya sendiri, ada juga milik orang lain yang dia kelola. Kini, karena eksportir di Surabaya dan Jakarta sedang menyetop pasokan ke Cina, otomatis sarang walet sementara waktu tidak dipanen. Padahal, jika sarang tidak segera dipanen, kwalitasnya akan menurun. “Kwalitas terbaik sarang walet adalah sebelum telur dierami, jadi sarang masih bersih. Kalau sudah menetas, jadi kotor,” kata pria yang mempunyai toko peralatan budidaya walet ini.

Dia mengaku pengusaha walet nasibnya sama dengan petani padi atau palawija, yakni tidak bisa menentukan harga. Harga sarang burung walet ditentukan oleh importir dari Hongkong. ”Sebelum ke Cina, transit dulu di Hongkong,” katanya.

Selain dari Indonesia, Cina mengimpor sarang burung walet dari Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Namun pemasok terbesar adalah Indonesia yang mencapai 70 persen. ”Pemasok terbesar Indonesia. Semua larinya ke Cina,” ungkapnya.

Anjloknya harga liur walet ini membuat banyak pihak yang menahan rencana pembangunan gedung walet. Sedangkan pengusaha yang sedang membangun, tapi sudah setengah jadi, tetap melanjutkan hingga selesai.

Menurun Henry harga sarang walet juga berdampak terhadap toko peralatan budidaya burung walet miliknya. Banyak pengusaha yang menunda pembangunan sehingga kebutuhan peralatan untuk gedung walet juga berkurang. ”Jelas ada efek domino, salah satunya terhadap toko peralatan gedung walet,” ungkapnya.

Beberapa perlengkapan yang dibutuhkan dalam gedung walet adalah audio pemanggil walet, pelembab udara, parfum, kotoran walet, dan lain-lain. Bagi gedung yang tidak terjangkau listrik, juga harus memasang pembangkit listrik tenaga surya untuk membunyikan mesin pemanggil walet.  ”Yang paling basic adalah audio. Tanpa audio, walet tidak mau masuk gedung baru. Intinya, kita harus membuat gedung seolah tempat koloni walet di sebuah goa. Kelembaban ruangan juga harus diatur dengan alat,” ucapnya.

Setiap gedung baru, kata Henry, audio tidak boleh mati, meskipun pasokan listrik dari PLN mati. Oleh karena itu, produsen dari Jawa telah memodifikasi mesin pemanggil walet bisa secara otomatis berpindah dari listrik ke accu saat listrik padam. ”Jika sampai audio mati, walet bisa pergi. Ini berlaku bagi gedung baru. Kalau gedung lama yang sudah ada koloni waletnya, tanpa audio pun walet tetap singgah,” ucapnya.

Menurut Henry, membangun gedung walet adalah investasi yang hasilnya tidak pasti. Dalam satu tahun, gedung baru belum tentu sudah menghasilkan. Butuh waktu lama serta kesabaran bagi pengusaha yang mendirikan gedung baru.

Untuk membangun gedung seluas 8 meter X 16 meter setinggi empat lantai dibutuhkan biaya Rp 600 juta hingga Rp 700 juta. Itu pun hanya bangunan yang kerangkanya dari ulin. ”Kalau mau yang kokoh, dari cor beton semua. Biayanya hingga miliaran,” kata Henry.

Henry Tenggara juga bercerita tentang awal mula berdirinya gedung walet di Sampit. Menurutnya, pertama kali gedung walet di Sampit adalah di Kusuka Swalayan atas idenya sendiri. ”Dulu saya yang mengelola Kusuka, makanya saya coba-coba bangun rumah walet di atasnya,” kata Henry.

Sebelum membangun rumah walet di atas Kusuka Swalayan, dirinya lebih dulu tinggal di sebuah kamar, belakang Toko Soen (cikal bakal Kusuka Swalayan). Di sana berseliweran burung walet. Dari situlah idenya muncul untuk mencoba bangun rumah walet seperti yang ada di Samuda.

”Dulu jarang ada yang mau membangun walet karena orang terjebak oleh mitos: rumah yang belum dimasuki walet, maka walet tidak bakal datang juga. Setelah kami berhasil, baru banyak orang yang nanya tentang budidaya walet,” ucapnya

Orang pertama yang dia bantu untuk membangun rumah walet setelah Kusuka Swalayan adalah Yu Cing (pemilik Toko Subur). Setelah itu, semakin banyak orang mendirikan rumah walet di kawasan yang berdekatan dengan Sungai Mentaya.

Menurut Henry, usaha walet suatu saat akan berhenti sendirinya menyusul kepergian koloni burung walet. Hal ini pernah terjadi di kawasan Pantai Utara Jawa (Pantura). “Dulu di Pantura banyak petani walet yang sukses. Sekarang waletnya tinggal sedikit sehingga hasilnya merosot drastis,” ungkapnya. (jawapos)