Ongkos Mahal Jokowi Demi Saham Mayoritas Freeport
Jakarta — Harga yang harus dibayar pemerintah untuk mengantongi 51,23 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI) secara utuh masih menjadi pro dan kontra. Maklum, kocek yang harus dikeluarkan pemerintah cukup besar mencapai US$3,85 miliar atau Rp56 triliun (kurs Rp14.500).
dikabarkan CNN Indonesia, Pengamat Hukum Sumber Daya dari Universitas Tarumanegara Ahmad Redi menuturkan angka itu tak sepadan dengan tanggung jawab PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) atau Inalum, sebagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang akan mengambilalih saham Freeport Indonesia.
“Freeport ini kan masih banyak tanggung jawab hukumnya, pembangunan smelter, pajak, kerusakan lingkungan yang mengakibatkan kerugian negara. Kalau nanti Inalum jadi pemegang saham mayoritas berarti ini jadi tanggung jawab Inalum juga,” papar Redi kepada CNNIndonesia.com, Jumat (21/12).
Melihat hal itu, Redi berpendapat bahwa sebenarnya yang akan dikeluarkan Inalum nantinya tak hanya US$3,85 miliar, tapi bisa lebih banyak dari itu. Apalagi, smelter bukanlah barang murah.
“Pembangunan smelter itu bisa US$1,5 miliar. Cukup besar dana yang harus dikeluarkan, sampai sekarang kan pembangunan smelter tidak juga dilakukan oleh Freeport Indonesia,” ucap Redi.
Selain itu, ia menyebut perhitungan valuasi yang harus dibayar oleh Inalum ini terbilang tak adil. Masalahnya, jumlah pembayaran yang harus dilunasi Inalum dihitung berdasarkan proyeksi keuntungan dan arus kas sampai 2041.
“Harusnya sampai 2021 saja karena kan izin kontrak karya (KK) Freeport Indonesia juga akan berakhir 2021. Seharusnya Indonesia di atas angin, tapi Indonesia sepertinya tidak kuat dalam negosiasi,” kata Redi.
Lagipula, jika memang harga yang harus dikeluarkan Inalum mencapai US$3,85 miliar, Redi berpendapat lebih baik Indonesia mengambil langsung 100 persen saham Freeport Indonesia. Pasalnya, keuntungan yang didapat juga akan berkali-kali lipat.
“Kalau dihitung kepemilikan barang Freeport Indonesia itu Rp80 triliun, daripada hanya bayar Rp50 triliun hampir Rp60 triliun tapi hanya genggam 51 persen, lebih baik sekalian saja habis-habisan bayar banyak,” tutur Redi.
Saat ini, menurut dia, royalti yang dibayarkan Freeport Indonesia kepada Indonesia dinilaii tak wajar. Indonesia saat ini mendapatkan royalti emas sebesar 3,75 persen. Namun, itu baru berlaku sejak 2014.
“Dulunya hanya satu persen, tapi sebenarnya dinaikkan menjadi 3,75 persen itu juga sejak 2012 bukan 2014 kalau berdasarkan aturannya,” terang Redi.
Sementara itu, Freeport-McMoran memprediksi Indonesia bisa meraup US$60-US$90 miliar atau setara dengan Rp867-Rp1.296 triliun dari kepemilikan mayoritas pada Freeport Indonesia. Hanya saja, jaminan keuntungan itu diberikan oleh Freeport Indonesia asalkan pemerintah memperpanjang operasional Freeport Indonesia sampai 2041 mendatang.
“Harusnya makanya diambilalih saja 100 persen, untuk apa dikasih izin tambahan lagi sampai 2041. Indonesia mampu kok kelola tambang Freeport Indonesia,” pungkas Redi.
Guna membiayai akuisis Freeport, Inalum telah menerbitkan obligasi global sebesar US$4 miliar atau sekitar Rp58 triliun (kurs Rp14.500). Obligasi global ini diterbitkan dalam empat seri dengan pilihan tenor dari tiga sampai 30 tahun.
Sementara, imbal hasil (yield) yang ditawarkan juga beragam. Untuk seri pertama dengan nilai pokok US$1 miliar memiliki tenor tiga tahun dengan yield 5,5 persen, seri kedua dengan nilai US$1,25 miliar dan tenor lima tahun serta yield enam persen.
Kemudian, Inalum menawarkan obligasi dengan nilai pokok US$1 miliar bertenor 10 tahun dan bunga 6,87 persen. Seri terakhir atau keempat memiliki tenor sampai 30 tahun dengan nilai pokok US$750 juta dan yield 7,37 persen.
Penerbitan obligasi itu dilakukan pada bulan lalu. Kini Inalum mengklaim sudah mengantongi US$4 miliar untuk dan siap menyelesaikan transaksi pengambilalihan 51 persen saham Freeport Indonesia.
Kepala Riset MNC Sekuritas Edwin Sebayang mengakui yield yang ditawarkan oleh Inalum memang tinggi. Namun, jumlah yang harus dibayarkan Inalum kepada investor pembeli obligasi global terbilang lebih murah dibandingkan dengan pinjaman perbankan.
“Bagaimana pun tetap lebih bagus lempar obligasi, karena kalau pinjam perbankan harus ada jaminan besar juga untuk pinjaman dengan nilai tinggi,” ujar Edwin.
Bukannya aset Inalum tak cukup untuk menjamin utang perusahaan ke perbankan, tapi Edwin menyebut Inalum perlu juga menjaminkan aset perusahaan tambang lainnya yang berada di bawah holding pertambangan. Hal itu tentu akan memakan waktu lebih lama.
“Bisa mengagunkan aset PT Bukit Asam Tbk, PT Aneka Tambang Tbk, dan PT Timah Tbk. Tapi itu juga butuh penilaian dulu, lama,” sambung Edwin.
Tak hanya itu, Edwin menuturkan proses raihan dana akan lebih cepat dengan menerbitkan obligasi dibandingkan dengan pinjaman perbankan. Maklumlah, dana yang dibutuhkan Inalum cukup jumbo, sehingga pinjaman tak hanya berasal dari satu bank melainkan harus dari sindikasi perbankan atau lebih dari satu bank.
“Kalau nilainya besar begitu (Rp55 triliun) mungkin juga tidak bisa perbankan nasional, mungkin internasional. Proses akan lebih lama lagi, sementara ini butuh cepat kan,” ucap Edwin.